Header Ads Widget


 

BREAKING NEWS

6/recent/ticker-posts

Apakah Media Online dan Cetak Bisa Dituntut Atas Pencemaran Nama Baik dan Berita Bohong?



KABAPESISIR.COM (DUMAI) -- Media online dan media  cetak adalah pers sebagaimana diatur dalam UU Pers.  Dua jenis perbuatan hukum yaitu pencemaran nama baik atau berita bohong itu ada dalam konten berita yang disiarkan oleh pers.

Dikutip dari hukumonline.com ada tiga kesan soal subjek seseorang atau badan hukum yang menjadi sasaran gugatan atau tuntutan atas pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong tersebut Senin 25/3/2024.

Apakah gugatan/tuntutan ditujukan kepada pers sebagai badan hukum yang menyiarkan berita?

Apakah gugatan/tuntutan ditujukan kepada wartawan sebagai orang yang bekerja membuat berita untuk pers?

Apakah gugatan/tuntutan ditujukan kepada orang dan/atau badan hukum yang menjadi narasumber berita?

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka ada dua kemungkinan jenis pers berdasarkan UU Pers, sebagai sarana pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong yang di maksud, yaitu:

• Media cetak;

• Media online (media elektronik).

Upaya Hukum Jika Pemberitaan Pers dan Wartawan Merugikan, jika konten berita yang disiarkan pers adalah produk kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya.

Sejak UU Pers berlaku, seluruh kegiatan dan produk pers memiliki payung hukum khusus yang bisa mengecualikan berbagai ketentuan hukum yang umum. Asas lex specialis derogat legi generali berlaku dalam ketentuan hukum mengenai pers.

UU Pers telah mengatur perkara yang berkaitan dengan keberatan atas pemberitaan pers yaitu dengan tiga upaya yaitu:
• Hak jawab yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

• Hak koreksi yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

• Pengaduan ke Dewan Pers apabila dua upaya sebelumnya tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Merujuk pada keterangan Dewan Pers, perbedaan antara hak jawab dan hak koreksi terletak wewenang pada pihak yang melakukannya. Hak jawab diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Sedangkan hak koreksi diberikan kepada setiap orang. Hak jawab berisi tanggapan atau sanggahan terhadap berita yang menyangkut langsung diri dari pihak yang dirugikan. Sementara, hak koreksi berisi koreksi dari siapa saja menyangkut informasi apapun yang dinilainya salah, terutama kekeliruan fakta dan data teknis.
Ketentuan lebih lanjut tentang cara mengajukan hak jawab diatur dengan Peraturan Dewan Pers 9/2008.

Apabila Ada yang merasa dirugikan atas suatu pemberitaan misalnya karena dianggap sebagai pencemaran nama baik atau berita bohong, upaya pertama yang bisa dilakukan adalah menggunakan hak jawab. Isi hak jawab akan ditayangkan secara proporsional oleh pers terkait dalam waktu secepatnya atau pada kesempatan pertama.

Melayani hak jawab dan hak koreksi adalah kewajiban hukum bagi pers yang disertai ancaman pidana denda paling banyak Rp500 juta jika tidak melaksanakannya. Artinya, persoalan hak jawab bukan hanya masalah etik tetapi juga masalah hukum.

Apabila hak jawab belum cukup memuaskan, yang merasa dirugikan  bisa mengadukan perkara pemberitaan  kepada Dewan Pers.

Akademisi Hukum Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada yang ditunjuk Dewan Pers sebagai Ahli Dewan Pers, Herlambang Perdana Wiratraman memberikan penjelasan tambahan tentang mekanisme pengaduan.

Setiap pengaduan keberatan yang masuk ke Dewan Pers akan ditanggapi dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi. Isinya adalah saran penyelesaian yang diberikan Dewan Pers.Ketentuan lebih lengkap tentang pengaduan ke Dewan Pers diatur dalam Peraturan Dewan Pers 01/2017.

Bisakah Menggugat atau Menuntut Pers dan Wartawan?


Apabila pihak pengadu yang tidak puas dengan pernyataan penilaian dan rekomendasi dari Dewan Pers, maka bisa melanjutkan pada mekanisme gugatan perdata.

Namun, Herlambang mengatakan mekanisme gugatan perdata jarang terjadi karena pengadilan sejauh ini mengikuti mekanisme Dewan Pers.

berkaitan dengan tuntutan pidana, SEMA 13/2008 juga memberi pedoman agar pengadilan mendengar atau meminta keterangan ahli dari Dewan Pers dalam menangani delik pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers secara teori dan praktik.

Dewan Pers telah memiliki nota kesepahaman dengan Polri dan Kejaksaan Agung. Isinya menegaskan kerja sama untuk menegakkan perkara hukum terkait kegiatan jurnalistik sesuai dengan UU Pers. Secara khusus disepakati bahwa laporan pidana ke kepolisian atas produk pers akan diarahkan untuk diselesaikan di Dewan Pers terlebih dahulu.

Herlambang menegaskan bahwa sejauh ini berbagai upaya pemidanaan akibat produk pemberitaan pers hampir tidak pernah ditemukan lagi di Indonesia dan dunia.

Berdasarkan SEMA 13/2008 serta Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Polri maupun Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Kejaksaan Agung, ada indikasi bahwa aparat penegak hukum Indonesia pun mengutamakan mekanisme penyelesaian di Dewan Pers alih-alih secara hukum (pidana).

peluang untuk mengajukan gugatan atau tuntutan kepada pers maupun wartawan tetap ada. Hanya saja,

" jika berkaitan dengan produk pers yang telah memenuhi UU Pers kecil kemungkinan akan diproses oleh aparat penegak hukum," ucap Herlambang menegaskan.

Berkaitan dengan media online atau media elektronik yang juga terikat sebagai penyelenggara sistem elektronik berdasarkan UU ITE (dan perubahannya), kata herlambang Dewan Pers menilai pasal-pasal UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers sebagai karya jurnalistik yang sudah tegas dan jelas diatur dalam UU Pers.

Pernyataan sikap itu disampaikan lewat Siaran Pers No. 25/SP/DP/XII/2023. Dewan Pers merujuk pada Lampiranangka 3 huruf l SKB UU ITE bahwa untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan UU Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis bukan UU ITE. Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers.

Perlu diketahui pula bahwa Dewan Pers juga sudah menerbitkan pedoman khusus untuk media online yaitu Pedoman Pemberitaan Media Siber.

Bisakah Menggugat atau Menuntut Narasumber Berita?

mengenai kemungkinan gugatan atau tuntutan kepada narasumber berita yang diperkarakan, Putusan Kasasi MA No. 646 K/Pid.Sus/2019 pernah membebaskan narasumber berita yang didakwa atas penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE. Mahkamah Agung menilai bahwa tidak dapat dinilai sebagai perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Jadi, pernyataan narasumber berita yang disiarkan media elektronik tidak bisa membuatnya dijerat delik pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong.

Lebih lanjut, Mahkamah Agung juga menilai bahwa hasil wawancara Terdakwa dengan beberapa media karena sudah diolah menjadi berita sehingga termasuk karya jurnalistik, maka pertanggungjawabannya ada pada pengelola media yang bersangkutan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Artinya, dugaan pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong narasumber berita dalam hasil wawancara pemberitaan juga diakui sebagai produk pers yang tunduk pada mekanisme UU Pers. *** (dedi)

Posting Komentar

0 Komentar